Aku ingin bicara, kepada seorang perempuan tua yang wajahnya sudah berhiaskan kerutan dan beban hidup. Perempuan tua yang sudah mengenal luar dalamku bahkan sampai menembus ke kedalaman hatiku. Yaa,, beliau adalah nenekku. Nenekku yang menggantikan peran ibuku karena aku dtinggal pergi mencari tumpukkan sen untuk menghidupiku.. Aku ingin menyampaikan hal penting. Sangat penting untukku, karena baru pertama kali setelah mimpiku ditebas hilang oleh kenyataan, aku mau bermimpi lagi dan berani menyebut mimpiku itu sebagai “CITA – CITA”. Yaa,, bodoh memang. Aku menemukan apa cita-citaku di umurku yang sudah menginjak kepala dua. Padahal, kuingat teman sebayaku, ketika mereka masuk perguruan tinggi, dan menginjakkan kaki dibumi mahasiswa, dengan cita – cita yang sudah mereka genggam erat.
Aku ingin bicara, tapi ragu. Dilematis, aku pernah mendengar langsung beliau tidak mengijinkanku menjadi seperti apa yang aku cita-citakan, bahkan sebelum aku memimpikan itu. Seakan beliau tahu suatu saat nanti cucunya ini akan mencita-citakan ini. Satu hal saja yang beliau takutkan, beliau tak ingin cucunya perempuannya yang paling tua ini terancam, terterror dan harus pergi kemana – mana untuk mencari berita. Eyang putri, maafkan aku. Tapi, inilah mimpiku. Kau ingat dua tahun lalu betapa hancurnya aku ketika tak satupun orang mendukung mimpiku termasuk engkau?? Haruskah kuminum lagi pil pahit itu eyang?? Kujanjikan aku baik – baik saja, kujanjikan aku tak akan mengeluh dan kembali ke pangkuanmu, mencium tangan dan pipimu dengan mata berbinar, muka berseri, dan tubuh yang tak teridentifikas penyakit serta kelelahan sedikitpun.
Aku ada di belakangnya, dan sekarang aku hanya melihat punggungnya dibalik kursi anyaman yang transparan, sambil menikmati kesepiannya karena ditinggal suami, almarhum kakekku. Aku yakinkan hati, aku harus bicara.. kataku “eyang... “...| “iyyaa.. kenapa nduk???” |.. hening.... suaranya membuat lidahku tercekat, sesak sampai ke tenggorokan dan menahan setiap kata yang sudah kupersiapkan untuk bebas dari pita suara. “eyang.. aku sudah besar, sudah kuliah dan ini semester akhir, bukankah aku sudah harus punya cita – cita??”.. | “apa? Jadi selama ini kamu belum punya cita – cita nduk??”.. nada bicara dan setiap konsonan kata yang terdengar semakin naik ke level serius.. dan aku hanya bisa menggelengkan kepala.. |”lalu untuk apa kamu kuliah selama ini?? Memilih jurusan itu kalau memang kamu belum punya cita-cita??”| |”aku tidak tahu ( yaa.. aku memang tidak tahu ).. yang aku tahu, aku hanya ingin kuliah disana. Tapi, kalian mau aku disini.. dan, walaupun kalian mau aku disini, aku turuti kemauan kalian, aku tetap ingin kuliah, apapun itu jurusannya. Aku hanya ingin pintar eyang, aku ingin ilmu”|
Kudengar lenguhan panjang dari beliau. Nafasnya melemah beradaptasi dengan umur yang menua .. |”kami tidak pernah memaksa, sebagai orang tua tugasku adalah meluruskanmu, meluruskanmu dari obsesi yang membutakan mata dan hatimu, padahal sebenarnya kamu tak berkapasitas, daripada kamu sakit ditengah nduk. apa cita – citamu cah ayu???” |, aku benar – benar tak ingin mendengar itu. Luka lama yang hanya membuatku membenci mereka. Hening... aku dilema. Takut hipotesisku tak beliau terima dan sekali lagi aku harus mencari cita – cita baru demi senyum keluargaku... |”jurnalis”| |”jurnalis?? Wartawan???||”hhmmmmm... iiiyyaaaa”| |“hahh.. pasti ayahmu kan yang menyuruhmu?? Yang menanamkan doktrin itu di otakkmu karena dia tidak bisa menjadi jurnalis seperti apa yang dia cita-citakan??? Bilang !!”| aku tak kuasa menahan air mataku yang mendesak keluar dari persemayamannya, kutundukkan mukaku, kuhalangi dengan rambut panjangku, kuusap lembut airmataku. Dan ku berkata tanpa terisak namun agak bergetar |”bukan.. bukan karena ayah. Ayah belum tau. Eyang, ini mauku. Ini jiwaku. Dengan menulis aku bisa menjadi siapapun, aku bisa menangis dan tertawa tanpa harus orang – orang tau kalau itu aku. Dengan menjadi wartawan, aku bisa bertemu banyak orang. Berbagi kasih, senyum, ilmu, dan pasti aku berwawasan luas eyang. Aku bukan anak manja, yang takut tantangan, takut konflik, matahari, tempat kumuh. Aku ingin tetap sederhana. Walaupun aku cucumu eyang. Seorang keturunan priyayi”| |nduk,,, bukannya eyang tidak suka.. eyang takut kamu kenapa – kenapa.. jadi wartawan dan jurnalis itu tantangannya berat nduk ..” | |”eyang takut aku mati saat mencari berita??”| |”hhuusshhh.. mulutmuu”| |”eyang.. hidupku ada di Tangan Tuhan kan?? Aku pasti akan baik – baik saja eyang. Kalaupun aku tidak baik – baik saja. Bagiku, aku akan tetap baik – baik saja. Karena, bagaimanapun keadaanku, Tuhan ada besertaku eyang |. Kugenggam tangan eyang lembut. Ku tatap matanya yang sudah sayu |”eyang.. ijinkan aku. Karena dengan ijinmu aku merasa yakin”|
Hening menyerang lagi.. lama.. aku hampir menyerah. Hatiku serasa patah karena aku yakin kata yang keluar dari bibir eyangku adalah “tidak”. Kukendurkan genggamanku. Dan sekarang tangan kanan dan kiriku yang saling menggenggam. Aku berdoa. Berdoa ditengah eyang berfikir. Selesai ku berdoa.. tetap saja tak kutemukan jawaban.. 5 menit, 10 menit, 15 menit.. hahh.. aku lelah menunggu.. pergi sajalah pikirku..
Saat aku mengangkat tubuhku dari tempat duduk.. suara eyang menahanku “nduk.. mau kemana.. kita belum selesai ngomong kan??| |”iyaa... jadi ??| |”yaa sudahh... terserah kamu”| |’terserah aku??? Jadi boleh???”| |”iyyaaa.. eyang restui kamu.. kerjakan apa yang menjadi cita-citamu dengan penuh tanggung jawab dan sukacita”|...
Kupeluk erat eyangku, malaikatku . kami menangis bersama...
Terimakasih banyak wanita kuatku...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar